Minggu, 22 November 2020

 TURUN GUNUNG

Judul tersebut sering dimaknai secara konotatif. Namun kali saya benar-benar sedang turun gunung. Turun gunung yang menguras emosi, menyebabkan keringat dingin berlomba keluar dari pori-pori. Mencekamlah pokoknya. 

Peristiwa itu terjadi sekitar satu setengah tahun yang lalu. Seperti biasa, di sebuah pagi, saya kejibah menjemput siswa-siswi dari daerah Desa Gamping dan sekitarnya untuk mengikuti kegiatan belajar di MIN 2 Trenggalek. Sekitar pukul 06.00 WIB saya sudah berangkat ke Gamping, yang jaraknya sekitar 8 kilometer dari MIN 2 Trenggalek. Bermodalkan Isuzu Panther butut tahun 1993, saya menyusuri jalan menanjak berliku, kiri berupa tebing, kanan jurang yang dalam.

Satu dua anak mulai naik, sampai di rumah anak yang paling jauh dan paling tinggi, Frisky, masih aman. Baru setelah balik dan turun gunung, baru ada tanda-tanda. Remnya mulai tidak berfungsi. What? 

"Tenang-tenang....!", saya berusaha menenangkan diri sendiri. "Saya tak boleh panik, karena kalau panik bagaimana dengan anak-anak ini....?", begitu upaya kerasku dalam hati. Namun upaya tersebut tak mampu menghalangi keringat dingin keluar pori-pori. Banyak benar, sampai  baju mulai basah. Di tengah berkecamuknya pikiran itu, saya teringat sebuah tempat. Tempat yang mungkin paling aman  untuk menyelamatkan nyawa kami. 

Jalannya mobil terasa semakin cepat saja. Entah satu, dua, tiga. atau berapa tikungan nan menurun terlewati penuh dengan emosi meronta. Setelah melewati tikungan leter S di bawah Balai Desa Gamping, saya langsung membanting setir ke kiri, ke halaman rumah kosong. Alhamdulillah, mobil dapat berhenti di situ. Langsung plong rasanya. Segera saya hubungi grup WA antar jemput dan grup WA madrasah. 

Wali murid yang sudah membaca, segera datang dan mengantarkan anak-anak mereka ke MIN 2 Trenggalek. Tinggal saya sendiri, menunggu bantuan dari madrasah, duduk termenung sambil memperhatikan tetes demi tetes minyak rem yang turun ke rumput liar. Sepi sekali, tak ada orang di sana sini. Ya memang halaman rumah kosong.

Berselang beberapa menit kemudian, datang bantuan. Seorang teman menjemput dengan membawa mobil Hijet 1000. Setelah sampai atas, ternyata beliau tidak berani untuk menarik dari depan maupun belakang. Akhirnya, bismillah saya mengendarai Panther tersebut, menuruni jalan berliku  nan menurun, tanpa rem. Jarak yang tersisa sekitar enam setengah kilometer lagi.

Singkat cerita, sampailah saya ke bengkel langganan, di Desa Suruh. Diperbaikilah panther terebut, dan besoknya, sang panther siap menjemput siswa-siswi lagi.. 

Pengalaman menegangkan.. Kisah saya seorang gupir, guru nyambi sopir antar jemput. Disamping tupoksi, guru juga harus bisa melaksanakan tugas lain demi kebaikan madrasah. Semangat lillahi ta'ala menjadi kunci.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Lisence by Mohib Asrori | Copright | 2020